Sabtu, 14 Juni 2014

Syarat dan Rukun Puasa

Syarat Wajib Puasa[1]
Syarat wajibnya puasa yaitu: (1) islam, (2) berakal, (3) sudah baligh[2], dan (4) mengetahui akan wajibnya puasa.[3]
Syarat Wajibnya Penunaian Puasa[4]
Syarat wajib penunaian puasa, artinya ketika ia mendapati waktu tertentu, maka ia dikenakan kewajiban puasa. Syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut.
(1) Sehat, tidak dalam keadaan sakit.
(2) Menetap, tidak dalam keadaan bersafar. Dalil kedua syarat ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Dan barangsiapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 185). Kedua syarat ini termasuk dalam syarat wajib penunaian puasa dan bukan syarat sahnya puasa dan bukan syarat wajibnya qodho’ puasa. Karena syarat wajib penunaian puasa di sini gugur pada orang yang sakit dan orang yang bersafar. Ketika mereka tidak berpuasa saat itu, barulah mereka qodho’ berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun jika mereka tetap berpuasa dalam keadaan demikian, puasa mereka tetap sah.
(3) Suci dari haidh dan nifas. Dalilnya adalah hadits dari Mu’adzah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Hadits tersebut adalah,
عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.”[5] Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas tidak wajib puasa dan wajib mengqodho’ puasanya.[6]
Syarat Sahnya Puasa
Syarat sahnya puasa ada dua, yaitu:[7]
(1) Dalam keadaan suci dari haidh dan nifas. Syarat ini adalah syarat terkena kewajiban puasa dan sekaligus syarat sahnya puasa.
(2) Berniat. Niat merupakan syarat sah puasa karena puasa adalah ibadah sedangkan ibadah tidaklah sah kecuali dengan niat sebagaimana ibadah yang lain. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.”[8]
Niat puasa ini harus dilakukan untuk membedakan dengan menahan lapar lainnya. Menahan lapar bisa jadi hanya sekedar kebiasaan, dalam rangka diet, atau karena sakit sehingga harus dibedakan dengan puasa yang merupakan ibadah.
Namun, para pembaca sekalian perlu ketahui bahwasanya niat tersebut bukanlah diucapkan (dilafadzkan). Karena yang dimaksud niat adalah kehendak untuk melakukan sesuatu dan niat letaknya di hati[9]. Semoga Allah merahmati An Nawawi rahimahullah –ulama besar dalam Syafi’iyah- yang mengatakan,
لَا يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلَّا بِالنِّيَّةِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ خِلَافٍ
“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.”[10]
Ulama Syafi’iyah lainnya, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan,
وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ ، وَلَا تَكْفِي بِاللِّسَانِ قَطْعًا ، وَلَا يُشْتَرَطُ التَّلَفُّظُ بِهَا قَطْعًا كَمَا قَالَهُ فِي الرَّوْضَةِ
“Niat letaknya dalam hati dan tidak perlu sama sekali dilafazhkan. Niat sama sekali tidakk disyaratkan untuk dilafazhkan sebagaimana ditegaskan oleh An Nawawi dalam Ar Roudhoh.”[11]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
وَالنِّيَّةُ مَحَلُّهَا الْقَلْبُ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ ؛ فَإِنْ نَوَى بِقَلْبِهِ وَلَمْ يَتَكَلَّمْ بِلِسَانِهِ أَجْزَأَتْهُ النِّيَّةُ بِاتِّفَاقِهِمْ
“Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.”[12]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan pula, “Siapa saja yang menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat. Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang namanya niat.”[13]
Wajib Berniat Sebelum Fajar[14]
Dalilnya adalah hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Hafshoh –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
Barangsiapa siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”[15]
Syarat ini adalah syarat puasa wajib menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali. Yang dimaksud dengan berniat di setiap malam adalah mulai dari tenggelam matahari hingga terbit fajar.[16]
Adapun dalam puasa sunnah boleh berniat setelah terbit fajar menurut mayoritas ulama. Hal ini dapat dilihat dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalil masalah ini adalah hadits ‘Aisyah berikut ini. ‘Aisyah berkata,
دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ.
Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kurma, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.”[17] An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ini adalah dalil bagi mayoritas ulama, bahwa boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal (matahari bergeser ke barat) pada puasa sunnah.”[18] Di sini disyaratkan bolehnya niat di siang hari yaitu sebelum niat belum melakukan pembatal puasa. Jika ia sudah melakukan pembatal sebelum niat (di siang hari), maka puasanya tidak sah. Hal ini tidak ada perselisihan di dalamnya.[19]
Niat ini harus diperbaharui setiap harinya. Karena puasa setiap hari di bulan Ramadhan masing-masing hari berdiri sendiri, tidak berkaitan satu dan lainnya, dan tidak pula puasa di satu hari merusak puasa hari lainnya. Hal ini berbeda dengan raka’at dalam shalat.[20]
Niat puasa Ramadhan harus ditegaskan (jazm) bahwa akan berniat puasa Ramadhan. Jadi, tidak boleh seseorang berniat dalam keadaan ragu-ragu, semisal ia katakan, “Jika besok tanggal 1 Ramadhan, berarti saya tunaikan puasa wajib. Jika bukan 1 Ramadhan, saya niatkan puasa sunnah”. Niat semacam ini tidak dibolehkan karena ia tidak menegaskan niat puasanya.[21] Niat itu pun harus dikhususkan (dita’yin) untuk puasa Ramadhan saja tidak boleh untuk puasa lainnya.[22]
Rukun Puasa
Berdasarkan kesepakatan para ulama, rukun puasa adalah menahan diri dari berbagai pembatal puasa mulai dari terbit fajar (yaitu fajar shodiq) hingga terbenamnya matahari[23]. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Yang dimaksud dari ayat adalah, terangnya siang dan gelapnya malam dan bukan yang dimaksud benang secara hakiki.
Dari ‘Adi bin Hatim ketika turun surat Al Baqarah ayat 187, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya,
إِنَّمَا ذَاكَ بَيَاضُ النَّهَارِ مِنْ سَوَادِ اللَّيْلِ
Yang dimaksud adalah terangnya siang dari gelapnya malam[24]. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan seperti itu pada ‘Adi bin Hatim karena sebelumnya ia mengambil dua benang hitam dan putih. Lalu ia menanti kapan muncul benang putih dari benang hitam, namun ternyata tidak kunjung nampak. Lantas ia menceritakan hal tersebut pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau pun menertawai kelakukan ‘Adi bin Hatim.[25]
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

[1] Disebut dengan syarat wujub shoum. [2] Tanda baligh adalah: (1) Ihtilam, yaitu keluarnya mani dalam keadaan sadar atau saat mimpi; (2) Tumbuhnya bulu kemaluan; atau (3) Dua tanda yang khusus pada wanita adalah haidh dan hamil. (Lihat Al Mawsua’ah Al Fiqhiyah, 2/3005-3008).
Sebagian fuqoha menyatakan bahwa diperintahkan bagi anak yang sudah menginjak usia tujuh tahun untuk berpuasa jika ia mampu sebagaimana mereka diperintahkan untuk shalat. Jika ia sudah berusia 10 tahun dan meninggalkannya –padahal mampu-, maka hendaklah ia dipukul. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9916)
[3] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9916.
[4] Disebut dengan syarat wujubul adaa’ shoum.
[5] HR. Muslim no. 335.
[6] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9916-9917.
[7] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 97 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9917.
[8] HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari ‘Umar bin Al Khottob.
[9] Niat tidak perlu dilafazhkan dengan “nawaitu shouma ghodin …”. Jika seseorang  makan sahur, pasti ia sudah niat dalam hatinya bahwa ia akan puasa. Agama ini sungguh tidak mempersulit umatnya.
[10] Rowdhotuth Tholibin, 1/268.
[11] Mughnil Muhtaj, 1/620.
[12] Majmu’ Al Fatawa, 18/262.
[13] Idem.
[14] Yang dimaksudkan adalah masuk waktu shubuh.
[15] HR. Abu Daud no. 2454, Tirmidzi no. 730, dan Nasa’i no. 2333.
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Riwayat yang menyatakan bahwa hadits ini mauquf (hanya perkataan sahabat) tidak menafikan riwayat di atas. Karena riwayat marfu’ adalah ziyadah (tambahan) yang bisa diterima sebagaimana dikatakan oleh ahli ilmu ushul dan ahli hadits. Pendapat seperti ini pun dipilih oleh sekelompok ulama, namun diselisihi oleh yang lainnya. Ulama yang menyelisihi tersebut berdalil tanpa argumen yang kuat” (Ar Roudhotun Nadiyah, hal. 323).
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Irwaul Gholil 914 (4/26).
[16] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9919.
[17] HR. Muslim no. 1154.
[18] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/35.
[19] Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matn Al Iqna’, 6/32.
[20] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9922.
[21] Inilah pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanabilah. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9918.
[22] Ini pendapat jumhur (mayoritas ulama). Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9918.
[23] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9915.
[24] HR. Tirmidzi no. 2970, beliau mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
[25] HR. Ahmad, 4/377. Shahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth

12 Hadits Lemah dan Palsu Seputar Ramadhan

Islam adalah agama yang ilmiah. Setiap amalan, keyakinan, atau ajaran yang disandarkan kepada Islam harus memiliki dasar dari Al Qur’an dan Hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang otentik. Dengan ini, Islam tidak memberi celah kepada orang-orang yang beritikad buruk untuk menyusupkan pemikiran-pemikiran atau ajaran lain ke dalam ajaran Islam.
Karena pentingnya hal ini, tidak heran apabila Abdullah bin Mubarak rahimahullah mengatakan perkataan yang terkenal:
الإسناد من الدين، ولولا الإسناد؛ لقال من شاء ما شاء
“Sanad adalah bagian dari agama. Jika tidak ada sanad, maka orang akan berkata semaunya.” (Lihat dalam Muqaddimah Shahih Muslim, Juz I, halaman 12)
Dengan adanya sanad, suatu perkataan tentang ajaran Islam dapat ditelusuri asal-muasalnya.
Oleh karena itu, penting sekali bagi umat muslim untuk memilah hadits-hadits, antara yang shahih dan yang dhaif, agar diketahui amalan mana yang seharusnya diamalkan karena memang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam serta amalan mana yang tidak perlu dihiraukan karena tidak pernah diajarkan oleh beliau.
Berkaitan dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, akan kami sampaikan beberapa hadits lemah dan palsu mengenai puasa yang banyak tersebar di masyarakat. Untuk memudahkan pembaca, kami tidak menjelaskan sisi kelemahan hadits, namun hanya akan menyebutkan kesimpulan para pakar hadits yang menelitinya. Pembaca yang ingin menelusuri sisi kelemahan hadits, dapat merujuk pada kitab para ulama yang bersangkutan.

Hadits 1
صوموا تصحوا
“Berpuasalah, kalian akan sehat.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di Ath Thibbun Nabawi sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), oleh Ath Thabrani di Al Ausath (2/225), oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (3/227).
Hadits ini dhaif (lemah), sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), juga Al Albani di Silsilah Adh Dha’ifah (253). Bahkan Ash Shaghani agak berlebihan mengatakan hadits ini maudhu (palsu) dalam Maudhu’at Ash Shaghani (51).
Keterangan: jika memang terdapat penelitian ilmiah dari para ahli medis bahwa puasa itu dapat menyehatkan tubuh, makna dari hadits dhaif ini benar, namun tetap tidak boleh dianggap sebagai sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.

Hadits 2
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ
“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1437).
Hadits ini dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (1/310). Al Albani juga mendhaifkan hadits ini dalam Silsilah Adh Dha’ifah (4696).
Terdapat juga riwayat yang lain:
الصائم في عبادة و إن كان راقدا على فراشه
“Orang yang berpuasa itu senantiasa dalam ibadah meskipun sedang tidur di atas ranjangnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Tammam (18/172). Hadits ini juga dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (653).
Yang benar, tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah.
Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur karena malas, atau tidur karena kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan ramadhan sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-malasan.

Hadits 3
يا أيها الناس قد أظلكم شهر عظيم ، شهر فيه ليلة خير من ألف شهر ، جعل الله صيامه فريضة ، و قيام ليله تطوعا ، و من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه ، و من أدى فريضة كان كمن أدى سبعين فريضة فيما سواه ، و هو شهر الصبر و الصبر ثوابه الجنة ، و شهر المواساة ، و شهر يزاد فيه رزق المؤمن ، و من فطر فيه صائما كان مغفرة لذنوبه ، و عتق رقبته من النار ، و كان له مثل أجره من غير أن ينتقص من أجره شيء قالوا : يا رسول الله ليس كلنا يجد ما يفطر الصائم ، قال : يعطي الله هذا الثواب من فطر صائما على مذقة لبن ، أو تمرة ، أو شربة من ماء ، و من أشبع صائما سقاه الله من الحوض شربة لايظمأ حتى يدخل الجنة ، و هو شهر أوله رحمة و وسطه مغفرة و آخره عتق من النار ،
“Wahai manusia, bulan yang agung telah mendatangi kalian. Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1. 000 bulan. Allah menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai ibadah tathawwu’ (sunnah). Barangsiapa pada bulan itu mendekatkan diri (kepada Allah) dengan satu kebaikan,  ia seolah-olah mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa mengerjakan satu perbuatan wajib, ia seolah-olah mengerjakan 70 kebaikan di bulan yang lain. Ramadhan adalah bulan kesabaran, sedangkan kesabaran itu balasannya adalah surga. Ia (juga) bulan tolong-menolong. Di dalamnya rezki seorang mukmin ditambah. Barangsiapa pada bulan Ramadhan memberikan hidangan berbuka kepada seorang yang berpuasa, dosa-dosanya akan diampuni, diselamatkan dari api neraka dan memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tadi sedikitpun” Kemudian para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tidak semua dari kita memiliki makanan untuk diberikan kepada orang yang berpuasa.” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata, “Allah memberikan pahala tersebut kepada orang yang memberikan hidangan berbuka berupa sebutir kurma, atau satu teguk air atau sedikit susu. Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan akhirnya pembebasan dari api neraka.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887), oleh Al Mahamili dalam Amaliyyah (293), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (6/512), Al Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib (2/115)
Hadits ini didhaifkan oleh para pakar hadits seperti Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (2/115), juga didhaifkan oleh Syaikh Ali Hasan Al Halabi di Sifatu Shaumin Nabiy (110), bahkan dikatakan oleh Abu Hatim Ar Razi dalam Al ‘Ilal (2/50) juga Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (871) bahwa hadits ini Munkar.
Yang benar, di seluruh waktu di bulan Ramadhan terdapat rahmah, seluruhnya terdapat ampunan Allah dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang mukmin untuk terbebas dari api neraka, tidak hanya sepertiganya. Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini adalah:
من صام رمضان إيمانا واحتسابا ، غفر له ما تقدم من ذنبه
“Orang yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no.38, Muslim, no.760)
Dalam hadits ini, disebutkan bahwa ampunan Allah tidak dibatasi hanya pada pertengahan Ramadhan saja. Lebih jelas lagi pada hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi, Rasulullah bersabda:
إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ، وَمَرَدَةُ الجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ، فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ، وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الجَنَّةِ، فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ، وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ، وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ
Pada awal malam bulan Ramadhan, setan-setan dan jin-jin jahat dibelenggu, pintu neraka ditutup, tidak ada satu pintu pun yang dibuka. Pintu surga dibuka, tidak ada satu pintu pun yang ditutup. Kemudian Allah menyeru: ‘wahai penggemar kebaikan, rauplah sebanyak mungkin, wahai penggemar keburukan, tahanlah dirimu’.  Allah pun memberikan pembebasan dari neraka bagi hamba-Nya. Dan itu terjadi setiap malam” (HR. Tirmidzi 682, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)
Adapun mengenai apa yang diyakini oleh sebagian orang, bahwa setiap amalan sunnah kebaikan di bulan Ramadhan diganjar pahala sebagaimana amalan wajib, dan amalan wajib diganjar dengan 70 kali lipat pahala ibadah wajib diluar bulan Ramadhan, keyakinan ini tidaklah benar  berdasarkan hadits yang lemah ini. Walaupun keyakinan ini tidak benar, sesungguhnya Allah ta’ala melipatgandakan pahala amalan kebaikan berlipat ganda banyaknya, terutama ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Hadits 4
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت فتقبل مني إنك أنت السميع العليم
“Biasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika berbuka membaca doa: Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minni, innaka antas samii’ul ‘aliim.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya (2358), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (4/1616), Ibnu Katsir dalam Irsyadul Faqih (289/1), Ibnul Mulaqqin dalam Badrul Munir (5/710)
Ibnu Hajar Al Asqalani berkata di Al Futuhat Ar Rabbaniyyah (4/341) : “Hadits ini gharib, dan sanadnya lemah sekali”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Asy Syaukani dalam Nailul Authar (4/301), juga oleh Al Albani di Dhaif Al Jami’ (4350). Dan doa dengan lafadz yang semisal, semua berkisar antara hadits lemah dan munkar.
Sedangkan doa berbuka puasa yang tersebar dimasyarakat dengan lafadz:
اللهم لك صمت و بك امنت و على رزقك افطرت برحمتك يا ارحم الراحمين
“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rezeki-Mu aku berbuka, aku memohon Rahmat-Mu wahai Dzat yang Maha Penyayang.”
Hadits ini tidak terdapat di kitab hadits manapun. Atau dengan kata lain, ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Al Mulla Ali Al Qaari dalam kitab Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih: “Adapun doa yang tersebar di masyarakat dengan tambahan ‘wabika aamantu’ sama sekali tidak ada asalnya, walau secara makna memang benar.”
Yang benar, doa berbuka puasa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam terdapat dalam hadits:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa membaca doa:
ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
/Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/
(‘Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah’)”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud (2357), Ad Daruquthni (2/401), dan dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah, 2/232 juga oleh Al Albani di Shahih Sunan Abi Daud.

Hadits 5
من أفطر يوما من رمضان من غير رخصة لم يقضه وإن صام الدهر كله
“Orang yang sengaja tidak berpuasa pada suatu hari  di bulan Ramadhan, padahal ia bukan orang yang diberi keringanan, ia tidak akan dapat mengganti puasanya meski berpuasa terus menerus.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di Al’Ilal Al Kabir (116), oleh Abu Daud di Sunannya (2396), oleh Tirmidzi di Sunan-nya (723), Imam Ahmad di Al Mughni (4/367), Ad Daruquthni di Sunan-nya (2/441, 2/413), dan Al Baihaqi di Sunan-nya (4/228).
Hadits ini didhaifkan oleh Al Bukhari, Imam Ahmad, Ibnu Hazm di Al Muhalla (6/183), Al Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (7/173), juga oleh Al Albani di Dhaif At Tirmidzi (723), Dhaif Abi Daud (2396), Dhaif Al Jami’ (5462) dan Silsilah Adh Dha’ifah (4557). Namun, memang sebagian ulama ada yang menshahihkan hadits ini seperti Abu Hatim Ar Razi di Al Ilal (2/17), juga ada yang menghasankan seperti Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah (2/329) dan Al Haitsami di Majma’ Az Zawaid (3/171). Oleh karena itu, ulama berbeda pendapat mengenai ada-tidaknya qadha bagi orang yang sengaja tidak berpuasa.
Yang benar -wal ‘ilmu ‘indallah- adalah penjelasan Lajnah Daimah Lil Buhuts Wal Ifta (Komisi Fatwa Saudi Arabia), yang menyatakan bahwa “Seseorang yang sengaja tidak berpuasa tanpa udzur syar’i,ia harus bertaubat kepada Allah dan mengganti puasa yang telah ditinggalkannya.” (Periksa: Fatawa Lajnah Daimah no. 16480, 9/191)

Hadits 6
لا تقولوا رمضان فإن رمضان اسم من أسماء الله تعالى ولكن قولوا شهر رمضان
“Jangan menyebut dengan ‘Ramadhan’ karena ia adalah salah satu nama Allah, namun sebutlah dengan ‘Bulan Ramadhan.’”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan-nya (4/201), Adz Dzaahabi dalam Mizanul I’tidal (4/247), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), Ibnu Katsir di Tafsir-nya (1/310).
Ibnul Jauzi dalam Al Maudhuat (2/545) mengatakan hadits ini palsu. Namun, yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh As Suyuthi dalam An Nukat ‘alal Maudhuat (41) bahwa “Hadits ini dhaif, bukan palsu”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), An Nawawi dalam Al Adzkar (475), oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari (4/135) dan Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (6768).
Yang benar adalah boleh mengatakan ‘Ramadhan’ saja, sebagaimana pendapat jumhur ulama karena banyak hadits yang menyebutkan ‘Ramadhan’ tanpa ‘Syahru (bulan)’.

Hadits 7
أن شهر رمضان متعلق بين السماء والأرض لا يرفع إلا بزكاة الفطر
“Bulan Ramadhan bergantung di antara langit dan bumi. Tidak ada yang dapat mengangkatnya kecuali zakat fithri.”
Hadits ini disebutkan oleh Al Mundziri di At Targhib Wat Tarhib (2/157). Al Albani mendhaifkan hadits ini dalam Dhaif At Targhib (664), dan Silsilah Ahadits Dhaifah (43).
Yang benar, jika dari hadits ini terdapat orang yang meyakini bahwa puasa Ramadhan tidak diterima jika belum membayar zakat fithri, keyakinan ini salah, karena haditsnya dhaif. Zakat fithri bukanlah syarat sah puasa Ramadhan, namun jika seseorang meninggalkannya ia mendapat dosa tersendiri.

Hadits 8
رجب شهر الله ، وشعبان شهري ، ورمضان شهر أمتي
“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ibnu Asakir di Mu’jam Asy Syuyukh (1/186).
Hadits ini didhaifkan oleh di Asy Syaukani di Nailul Authar (4/334),  dan Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (4400). Bahkan hadits ini dikatakan hadits palsu oleh banyak ulama seperti Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ash Shaghani dalam Al Maudhu’at (72), Ibnul Qayyim dalam Al Manaarul Munif (76), Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Tabyinul Ujab (20).

Hadits 9
من فطر صائما على طعام وشراب من حلال صلت عليه الملائكة في ساعات شهر رمضان وصلى عليه جبرائيل ليلة القدر
“Barangsiapa memberi hidangan berbuka puasa dengan makanan dan minuman yang halal, para malaikat bershalawat kepadanya selama bulan Ramadhan dan Jibril bershalawat kepadanya di malam lailatul qadar.”
Hadist ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (1/300), Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1441), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Adh Dhuafa (3/318), Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (1/152)
Hadits ini didhaifkan oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhuat (2/555), As Sakhawi dalam Maqasidul Hasanah (495), Al Albani dalam Dhaif At Targhib (654)
Yang benar,orang yang memberikan hidangan berbuka puasa akan mendapatkan pahala puasa orang yang diberi hidangan tadi, berdasarkan hadits:
من فطر صائما كان له مثل أجره ، غير أنه لا ينقص من أجر الصائم شيئا
“Siapa saja yang memberikan hidangan berbuka puasa kepada orang lain yang berpuasa, ia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa sedikitpun mengurangi pahalanya.” (HR. At Tirmidzi no 807, ia berkata: “Hasan shahih”)

Hadits 10
رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر . قالوا : وما الجهاد الأكبر ؟ قال : جهاد القلب
“Kita telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar.” Para sahabat bertanya: “Apakah jihad yang besar itu?” Beliau bersabda: “Jihadnya hati melawan hawa nafsu.”
Menurut Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (2/6) hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Az Zuhd. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Takhrijul Kasyaf (4/114) juga mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh An Nasa’i dalam Al Kuna.
Hadits ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam di Majmu Fatawa (11/197), juga oleh Al Mulla Ali Al Qari dalam Al Asrar Al Marfu’ah (211). Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (2460) mengatakan hadits ini Munkar.
Hadits ini sering dibawakan para khatib dan dikaitkan dengan Ramadhan, yaitu untuk mengatakan bahwa jihad melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan lebih utama dari jihad berperang di jalan Allah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya. Tidak ada seorang pun ulama hadits yang berangapan seperti ini, baik dari perkataan maupun perbuatan Nabi. Selain itu jihad melawan orang kafir adalah amal yang paling mulia. Bahkan jihad yang tidak wajib pun merupakan amalan sunnah yang paling dianjurkan.” (Majmu’ Fatawa, 11/197). Artinya, makna dari hadits palsu ini pun tidak benar karena jihad berperang di jalan Allah adalah amalan yang paling mulia. Selain itu, orang yang terjun berperang di jalan Allah tentunya telah berhasil mengalahkan hawa nafsunya untuk meninggalkan dunia dan orang-orang yang ia sayangi.

Hadits 11
قال وائلة : لقيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عيد فقلت : تقبل الله منا ومنك ، قال : نعم تقبل الله منا ومنك
“Wa’ilah berkata, “Aku bertemu dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada hari Ied, lalu aku berkata: Taqabbalallahu minna wa minka.” Beliau bersabda: “Ya, Taqabbalallahu minna wa minka.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (2/319), Al Baihaqi dalam Sunan-nya (3/319), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (3/1246)
Hadits ini didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhuafa (7/524), oleh Ibnu Qaisirani dalam Dzakiratul Huffadz (4/1950), oleh Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (5666).
Yang benar, ucapan ‘Taqabbalallahu Minna Wa Minka’ diucapkan sebagian sahabat berdasarkan sebuah riwayat:
كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا التقوا يوم العيد يقول بعضهم لبعض : تقبل الله منا ومنك
Artinya:
“Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya ketika saling berjumpa di hari Ied mereka mengucapkan: Taqabbalallahu Minna Wa Minka (Semoga Allah menerima amal ibadah saya dan amal ibadah Anda)”
Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Mughni (3/294), dishahihkan oleh Al Albani dalam Tamamul Minnah (354). Oleh karena itu, boleh mengamalkan ucapan ini, asalkan tidak diyakini sebagai hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.

Hadits 12
خمس تفطر الصائم ، وتنقض الوضوء : الكذب ، والغيبة ، والنميمة ، والنظر بالشهوة ، واليمين الفاجرة
“Lima hal yang membatalkan puasa dan membatalkan wudhu: berbohong, ghibah, namimah, melihat lawan jenis dengan syahwat, dan bersumpah palsu.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Jauraqani di Al Abathil (1/351), oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131)
Hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana dijelaskan Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131), Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (1708).
Yang benar, lima hal tersebut bukanlah pembatal puasa, namun pembatal pahala puasa. Sebagaimana hadits:
من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل ، فليس لله حاجة أن يدع طعامه وشرابه
“Orang yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, serta mengganggu orang lain, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya.” (HR. Bukhari, no.6057)
Demikian, semoga Allah memberi kita taufiq untuk senantiasa berpegang teguh pada ajaran Islam yang sahih. Mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmat dan ampunannya kepada kita di bulan mulia ini. Semoga amal-ibadah di bulan suci ini kita berbuah pahala di sisi Rabbuna Jalla Sya’nuhu.
وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
***
Disusun oleh: Yulian Purnama
Muraja’ah: Ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

Hadits-hadits Shahih Seputar Bulan dan Shaum Ramadhan

Beberapa hari lagi bulan Sya’ban akan meninggalkan kita dan tibalah Ramadhan, bulan penuh berkah. Sudah waktunya kita lebih mempersiapkan diri kita secara fisik dan mental agar di bulan Ramadhan nanti kita bisa memperbanyak ibadah dan amal-amal shalih kita. Berikut akan kami ketengahkan beberapa hadits-hadits shahih dan hasan seputar bulan dan puasa Ramadhan yang kami kutip dari berbagai sumber kitab hadits.


1) حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ وَابْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ وَهُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ عَنْ أَبِي سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتْ الشَّيَاطِينُ
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Ayyuub, Qutaibah dan Ibnu Hujr, mereka berkata, telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil -dia adalah Ibnu Ja’far-, dari Abu Suhail, dari Ayahnya, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika telah datang bulan Ramadhan maka pintu-pintu surga akan dibuka, pintu-pintu neraka akan ditutup dan setan-setan akan dibelenggu dengan rantai.”
[Shahiih Muslim no. 1080; Shahiih Al-Bukhaariy no. 1898]

2) حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ بْنِ كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ عَيَّاشٍ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتْ الشَّيَاطِينُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ وَيُنَادِي مُنَادٍ يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنْ النَّارِ وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin Al-’Alaa’ bin Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin ‘Ayyaasy, dari Al-A’masy, dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika telah datang malam pertama di bulan Ramadhan maka setan-setan dan jin yang jahat akan dirantai, pintu-pintu neraka akan ditutup dan tidak akan terbuka darinya satu pintupun, pintu-pintu surga akan dibuka dan tidak akan tertutup darinya satu pintupun, dan seorang penyeru akan menyerukan, “Wahai para pencari kebaikan, bersegeralah (menuju kebaikan), wahai para pencari keburukan, berhentilah (dari keburukan), Allah membebaskan (seorang hamba) dari api neraka pada setiap malam (di bulan Ramadhan).”
[Jaami' At-Tirmidziy no. 682; Sunan Ibnu Maajah no. 1339] – Sanadnya terdapat ‘illat dari Abu Bakr bin ‘Ayyaasy[1], namun ia hasan lighairihi dengan syawahid. Syaikh Al-Albaaniy menghasankannya dalam Shahiih At-Targhiib no. 998.
3) أَخْبَرَنَا بِشْرُ بْنُ هِلَالٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ فَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ لِلَّهِ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ
Telah mengkhabarkan kepada kami Bisyr bin Hilaal, telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Waarits, dari Ayyuub, dari Abu Qilaabah, dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan penuh keberkahan. Allah ‘Azza wa Jalla telah mewajibkan kepada kalian berpuasa didalamnya, di bulan itu pintu-pintu langit akan dibuka dan pintu-pintu neraka akan ditutup, di bulan itu setan-setan jahat akan diikat. Demi Allah, di bulan itu ada malam yang lebih baik daripada seribu bulan, barangsiapa terhalang mendapatkan kebaikannya maka sungguh ia telah terhalang.”
[Sunan An-Nasaa'iy no. 2106] – Sanadnya mursal jayyid[2]. Akan tetapi ia hasan lighairihi dengan mutaba’at dari hadits yang telah lewat dan dengan syaahid yang akan datang berikut. Syaikh Al-Albaaniy menshahihkannya dalam Shahiih At-Targhiib no. 999
4) حَدَّثَنَا أَبُو بَدْرٍ عَبَّادُ بْنُ الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِلَالٍ حَدَّثَنَا عِمْرَانُ الْقَطَّانُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ
دَخَلَ رَمَضَانُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ هَذَا الشَّهْرَ قَدْ حَضَرَكُمْ وَفِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَهَا فَقَدْ حُرِمَ الْخَيْرَ كُلَّهُ وَلَا يُحْرَمُ خَيْرَهَا إِلَّا مَحْرُومٌ
Telah menceritakan kepada kami Abu Badr ‘Abbaad bin Al-Waliid, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bilaal, telah menceritakan kepada kami ‘Imraan Al-Qaththaan, dari Qataadah, dari Anas bin Maalik, ia berkata, ketika memasuki bulan Ramadhan maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya bulan ini sungguh telah hadir pada kalian, dan didalamnya terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, barangsiapa yang terhalang (mendapat kebaikannya) maka sungguh ia telah terhalang dari kebaikan, dan tidaklah dihalangi kebaikannya kecuali bagi yang terhalang (dari kebaikan).”
[Sunan Ibnu Maajah no. 1644] – Sanadnya hasan. Dihasankan Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahiih At-Targhiib no. 1000, beliau berkata “hasan shahih”.
5) حَدَّثَنَا سُرَيْجُ بْنُ النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا نُوحُ بْنُ قَيْسٍ عَنْ نَصْرِ بْنِ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيِّ عَنِ النَّضْرِ بْنِ شَيْبَانَ الْحُدَّانِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ
قُلْتُ لَهُ أَلَا تُحَدِّثُنِي حَدِيثًا عَنْ أَبِيكَ سَمِعَهُ أَبُوكَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ أَقْبَلَ رَمَضَانُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ رَمَضَانَ شَهْرٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ صِيَامَهُ وَإِنِّي سَنَنْتُ لِلْمُسْلِمِينَ قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ الذُّنُوبِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Telah menceritakan kepada kami Suraij bin An-Nu’maan, telah menceritakan kepada kami Nuuh bin Qais, dari Nashr bin ‘Aliy Al-Jahdhamiy, dari An-Nadhr bin Syaibaan Al-Huddaaniy, dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman, aku (An-Nadhr) berkata kepada Abu Salamah, ceritakanlah kepadaku hadits dari Ayahmu yang ia dengar dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, Abu Salamah menjawab, (jika) bulan Ramadhan datang maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bulan Ramadhan adalah bulan yang Allah wajibkan kalian untuk berpuasa, dan aku telah mensunnahkan kaum muslimin untuk shalat malam didalamnya, maka barangsiapa berpuasa dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, niscaya dosa-dosanya akan keluar (darinya) bagaikan hari ketika ia baru dilahirkan ibunya.”
[Musnad Ahmad no. 1691] – Sanadnya dha’if[3], akan tetapi hadits ini hasan lighairihi dengan syawahidnya. Syaikh Ahmad Syaakir menshahihkannya dalam Ta’liiq Musnad Ahmad 3/142.
6) حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَفِظْنَاهُ وَإِنَّمَا حَفِظَ مِنَ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdillaah, telah menceritakan kepada kami Sufyaan, ia berkata, kami telah menghafalnya dan sungguh ia berasal dari Az-Zuhriy, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan keimanan (kepada Allah) dan mengharap pahala maka akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu, dan barangsiapa yang menegakkan Lailatul Qadr dengan keimanan (kepada Allah) dan mengharap pahala maka akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 2014; Shahiih Muslim no. 761]
7) حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى أَخْبَرَنَا هِشَامُ بْنُ يُوسُفَ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عَطَاءٌ عَنْ أَبِي صَالِحٍ الزَّيَّاتِ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللَّهُ كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ
Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Muusaa, telah mengkhabarkan kepada kami Hisyaam bin Yuusuf, dari Ibnu Juraij, ia berkata, telah mengkhabarkan kepadaku ‘Athaa’, dari Abu Shaalih Az-Zayyaat, bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengatakan, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Semua amalan anak Adam adalah untuknya kecuali puasa karena sesungguhnya puasa adalah untukKu dan Akulah yang akan membalasnya, puasa adalah taman-taman surga, jika suatu hari salah seorang dari kalian berpuasa maka janganlah ia berbuat buruk dan mengumpat, jika ada seseorang yang menghinanya atau mengajaknya berkelahi, maka katakanlah, sesungguhnya aku sedang berpuasa. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tanganNya, bau mulut orang yang sedang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada aroma misik, dan bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan yang dengan keduanya ia akan bergembira, yaitu jika ia berbuka puasa maka ia akan gembira dan jika ia bertemu Rabbnya, ia akan gembira dengan sebab puasanya.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 1904; Shahiih Muslim no. 1152]
8) حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ وَوَكِيعٌ عَنْ الْأَعْمَشِ ح و حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ الْأَعْمَشِ ح و حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ الْأَشَجُّ وَاللَّفْظُ لَهُ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyah dan Wakii’, dari Al-A’masy, -dalam jalur periwayatan yang lain- telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb, telah menceritakan kepada kami Jariir, dari Al-A’masy, -dalam jalur periwayatan yang lain- telah menceritakan kepada kami Abu Sa’iid Al-Asyaj -dan lafazh miliknya-, telah menceritakan kepada kami Wakii’, telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Semua amalan anak Adam akan dilipatgandakan (pahalanya), sebuah kebaikan akan dilipatgandakan dengan sepuluh kali semisalnya hingga tujuh ratus kali lipat. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Kecuali puasa karena sesungguhnya puasa adalah untukKu dan Akulah yang akan membalasnya, karena ia telah meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku. Dan bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, kegembiraan ketika ia berbuka puasa dan kegembiraan ketika ia berjumpa dengan Rabbnya, bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada aroma misik.”
[Shahiih Muslim no. 1153; Sunan Ibnu Maajah no. 1638]
9) حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ دَاوُدَ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ حُيَيِّ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ الصِّيَامُ أَيْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ وَيَقُولُ الْقُرْآنُ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ قَالَ فَيُشَفَّعَانِ
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Daawud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahii’ah, dari Huyay bin ‘Abdillaah, dari Abu ‘Abdurrahman Al-Hubuliy, dari ‘Abdullaah bin ‘Amr, bahwasanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Puasa dan Al-Qur’an keduanya akan memberikan syafa’at kepada seorang hamba di hari kiamat, puasa berkata, “Wahai Rabb, aku telah mencegahnya dari makanan dan nafsu syahwat di siang hari, maka izinkan aku memberi syafa’at padanya,” dan Al-Qur’an berkata, “Aku telah mencegahnya dari tidur di malam hari, maka izinkan aku memberi syafa’at padanya.” Rasulullah melanjutkan, “Maka keduanya diizinkan memberi syafa’at.”
[Musnad Ahmad no. 6589] – Syaikh Al-Albaaniy menghasankannya dalam Shahiih At-Targhiib no. 984, namun ada pembicaraan dalam sanadnya[4].
10) حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ وَهَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ قَالَا أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ أَبِي صَخْرٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ إِسْحَقَ مَوْلَى زَائِدَةَ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ
Telah menceritakan kepadaku Abu Ath-Thaahir dan Haaruun bin Sa’iid Al-Ailiy, keduanya berkata, telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahb, dari Abu Shakhr, bahwasanya ‘Umar bin Ishaq maulaa Zaa’idah telah menceritakan kepadanya, dari Ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Shalat lima waktu, shalat Jum’at hingga ke Jum’at berikutnya, dan puasa Ramadhan hingga ke Ramadhan berikutnya, adalah kaffarat (penebus dosa) apa yang ada diantara keduanya selama ia menghindari dosa-dosa besar.”
[Shahiih Muslim no. 236]
11) حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Telah menceritakan kepada kami Aadam bin Abu Iyaas, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Dzi’b, telah menceritakan kepada kami Sa’iid Al-Maqburiy, dari Ayahnya, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak menahan perkataan keji dan perbuatan buruk didalamnya, maka Allah tidak butuh (orang itu) menahan makan dan minumnya.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 1903; Sunan Abu Daawud no. 2362]
12) حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ، أنا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي سُلَيْمَانُ وَهُوَ ابْنُ بِلالٍ، عَنْ كَثِيرِ بْنِ زَيْدٍ، عَنِ الْوَلِيدِ بْنِ رَبَاحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم رَقِيَ الْمِنْبَرَ، فَقَالَ: ” آمِينَ، آمِينَ، آمِينَ “، فَقِيلَ لَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا كُنْتَ تَصْنَعُ هَذَا؟ ! فَقَالَ: ” قَالَ لِي جِبْرِيلُ: أَرْغَمَ اللَّهُ أَنْفَ عَبْدٍ أَوْ بَعُدَ دَخَلَ رَمَضَانَ فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ، فَقُلْتُ: آمِينَ.
ثُمَّ قَالَ: رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ أَوْ بَعُدَ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا لَمْ يُدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، فَقُلْتُ: آمِينَ.
ثُمَّ قَالَ: رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ أَوْ بَعُدَ، ذُكِرْتَ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ، فَقُلْتُ: آمِينَ “
Telah menceritakan kepada kami Ar-Rabii’ bin Sulaimaan, telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahb, telah mengkhabarkan kepada kami Sulaimaan -dia adalah Ibnu Bilaal-, dari Katsiir bin Zaid, dari Al-Waliid bin Rabaah, dari Abu Hurairah bahwa suatu hari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam naik mimbar dan beliau bersabda, “Aamiin, aamiin, aamiin.” Ditanyakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu mengatakan seperti itu?” Beliau bersabda, “Jibriil berkata kepadaku, “Semoga Allah menghinakan seorang hamba yang setelah memasuki Ramadhan, Allah belum mengampuni dirinya.” Maka aku katakan, “Aamiin.” Kemudian Jibriil berkata, “Terhinalah seorang hamba yang mendapati kedua orangtuanya masih hidup atau salah satu dari keduanya akan tetapi tidak dapat membuatnya masuk surga.” Maka aku katakan, “Aamiin.” Kemudian Jibriil berkata, “Terhinalah seorang hamba ketika namamu disebut di sisinya, ia tidak bershalawat kepadamu.” Maka aku katakan, “Aamiin.”
[Shahiih Ibnu Khuzaimah 3/192; Al-Aadabul Mufrad no. 646] – Sanadnya shahih lighairihi. Telah lewat pembahasannya di Hadits Berma’af-ma’afan di Bulan Ramadhan.
13) أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الْحَكَمِ، أَنَّ ابْنَ وَهْبٍ أَخْبَرَهُمْ، وَأَخْبَرَنِي أَنَسُ بْنُ عِيَاضٍ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ عَمِّهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ” لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشُّرْبِ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ، فَلْتَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ، إِنِّي صَائِمٌ “
Telah mengkhabarkan kepadaku Muhammad bin ‘Abdillaah bin ‘Abdil Hakam, bahwasanya Ibnu Wahb mengkhabarkan kepada mereka, dan telah mengkhabarkan kepadaku Anas bin ‘Iyaadh, dari Al-Haarits bin ‘Abdurrahman, dari Pamannya, dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Puasa bukanlah hanya menahan diri dari makan dan minum, sesungguhnya puasa adalah menahan diri dari perkataan dan perbuatan kotor, maka jika ada seseorang yang menghina atau berbuat bodoh kepadamu, katakanlah, sesungguhnya aku sedang berpuasa, sesungguhnya aku sedang berpuasa.”
[Shahiih Ibnu Khuzaimah no. 1872; Al-Mustadrak 1/430] – Didalam sanadnya ada paman Al-Haarits[5], dan hadits ini shahih lighairihi dengan syawahidnya. Dishahihkan Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahiih Al-Mawaarid no. 741.
14) حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ
Telah menceritakan kepada kami ‘Amr bin Raafi’, telah menceritakan kepada kami ‘Abdullaah bin Al-Mubaarak, dari Usaamah bin Zaid, dari Sa’iid Al-Maqburiy, dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berapa banyak orang yang berpuasa namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain rasa lapar, dan berapa banyak orang yang shalat malam namun tidak mendapatkan apa-apa dari shalat malamnya selain menahan kantuk.”
[Sunan Ibnu Maajah no. 1690] – Sanadnya hasan. Syaikh Al-Albaaniy berkata “hasan shahih” dalam Shahiih Ibnu Maajah no. 1380.
15) حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحِيمِ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ أَبِي سُلَيْمَانَ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
Telah menceritakan kepada kami Hannaad, telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahiim, dari ‘Abdul Malik bin Abu Sulaimaan, dari ‘Athaa’, dari Zaid bin Khaalid Al-Juhaniy, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang memberi makan untuk berbuka bagi orang yang berpuasa, maka baginya pahala yang semisal (orang yang berpuasa) dengan tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikitpun.”
[Jaami' At-Tirmidziy no. 807] – Sanadnya hasan. Dishahihkan Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahiih At-Targhiib no. 1078.
dan dalam lafazh Ibnu Khuzaimah :
” مَنْ جَهَّزَ غَازِيًا، أَوْ جَهَّزَ حَاجًّا، أَوْ خَلَفَهُ فِي أَهْلِهِ، أَوْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أُجُورِهِمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ “
“Barangsiapa mempersiapkan orang yang berperang, atau mempersiapkan orang yang berhaji, atau menggantikannya mengurus keluarganya, atau memberi makan untuk berbuka bagi orang yang berpuasa, maka baginya pahala yang semisal dengan mereka dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.”
[Shahiih Ibnu Khuzaimah no. 1930]
16) حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا ثَابِتٌ الْبُنَانِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq, telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Sulaimaan, telah menceritakan kepada kami Tsaabit Al-Bunaaniy bahwa ia mendengar Anas bin Maalik mengatakan, “Dahulu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam berbuka puasa dengan beberapa butir kurma muda (ruthb atau kurma basah) sebelum melakukan shalat (Maghrib). Jika beliau tidak menemukan beberapa kurma muda maka beliau berbuka dengan beberapa butir kurma matang (tamr atau kurma kering). Jika beliau tidak menemukannya, maka beliau berbuka dengan beberapa teguk air.”
[Sunan Abu Daawud no. 2356] – Sanadnya hasan. Dihasankan Syaikh Al-Albaaniy dalam Silsilatu Ash-Shahiihah no. 2840.
17) حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو حَازِمٍ عَنْ سَهْلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ
Telah menceritakan kepada kami Khaalid bin Makhlad, telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Bilaal, ia berkata, telah menceritakan kepadaku Abu Haazim, dari Sahl radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Sesungguhnya didalam surga ada sebuah pintu yang dinamakan Ar-Rayyaan yang pada hari kiamat akan dimasuki oleh orang-orang yang berpuasa dan tidak akan dimasuki oleh satu orang pun selain mereka. Dikatakan, mana orang-orang yang berpuasa? Maka mereka berdiri dan tidaklah ada seorang pun yang memasuki pintu tersebut selain mereka. Jika mereka telah masuk maka pintu akan ditutup sehingga tidak ada seorang pun yang bisa memasukinya lagi.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 1896; Shahiih Muslim no. 1154]
18) حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحٍ الْمِصْرِيُّ أَنْبَأَنَا اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِنْدٍ أَنَّ مُطَرِّفًا مِنْ بَنِي عَامِرِ بْنِ صَعْصَعَةَ حَدَّثَهُ
أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ أَبِي الْعَاصِ الثَّقَفِيَّ دَعَا لَهُ بِلَبَنٍ يَسْقِيهِ قَالَ مُطَرِّفٌ إِنِّي صَائِمٌ فَقَالَ عُثْمَانُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الصِّيَامُ جُنَّةٌ مِنْ النَّارِ كَجُنَّةِ أَحَدِكُمْ مِنْ الْقِتَالِ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rumh Al-Mishriy, telah memberitakan kepada kami Al-Laits bin Sa’d, dari Yaziid bin Abu Habiib, dari Sa’iid bin Abu Hind bahwasanya Mutharrif -dari bani ‘Aamir bin Sha’sha’ah- menceritakan kepadanya bahwa ‘Utsmaan bin Abu Al-’Aash Ats-Tsaqafiy memanggilnya untuk meminum susu yang ia tuang. Mutharrif berkata, “Sesungguhnya aku sedang berpuasa.” ‘Utsmaan berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Puasa adalah perisai dari api neraka bagaikan perisai salah seorang dari kalian dalam peperangan.”
[Sunan Ibnu Maajah no. 1639; Musnad Ahmad no. 15844] – Sanadnya shahih. Dishahihkan Syaikh Muqbil Al-Waadi’iy dalam Shahiihul Musnad no. 929, Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahiih At-Targhiib no. 982.
19) أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ عَبْدِ الْجَبَّارِ الصُّوفِيُّ، حَدَّثَنَا يَحِيَى بْنُ مَعِينٍ، حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ نَافِعٍ، عَنْ شُعَيْبِ بْنِ أَبِي حَمْزَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي حُسَيْنٍ، عَنْ عِيسَى بْنِ طَلْحَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ عَمْرَو بْنَ مُرَّةَ الْجُهَنِيَّ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ شَهِدْتُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَأَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ، وَصَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ، وَأَدَّيْتُ الزَّكَاةَ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ، وَقُمْتُهُ، فَمِمَّنْ أَنَا؟ قَالَ: ” مِنَ الصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ
Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Al-Hasan bin ‘Abdul Jabbaar Ash-Shuufiy, telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Ma’iin, telah menceritakan kepada kami Al-Hakam bin Naafi’, dari Syu’aib bin Abu Hamzah, dari ‘Abdullaah bin ‘Abdurrahman bin Abu Husain, dari ‘Iisaa bin Thalhah, ia berkata, aku mendengar ‘Amr bin Murrah Al-Juhaniy berkata, datang seorang lelaki kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, lelaki itu berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu jika aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah, dan engkau adalah Rasulullah, aku shalat lima waktu (dalam sehari), aku membayar zakat, aku puasa Ramadhan dan aku berdiri untuk shalat malam didalamnya, termasuk golongan apakah aku?” Rasulullah bersabda, “Termasuk golongan Ash-Shiddiqiin dan Asy-Syuhadaa’.”
[Shahiih Ibnu Hibbaan no. 3438; Shahiih Ibnu Khuzaimah no. 2064] – Sanadnya shahih. Syaikh Al-Albaaniy menshahihkannya dalam Shahiih At-Targhiib no. 1003.
20) حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ جَمِيعًا عَنْ إِسْمَعِيلَ قَالَ ابْنُ أَيُّوبَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ أَخْبَرَنِي سَعْدُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ ثَابِتِ بْنِ الْحَارِثِ الْخَزْرَجِيِّ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ حَدَّثَهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Ayyuub, Qutaibah bin Sa’iid dan ‘Aliy bin Hujr, semuanya dari Ismaa’iil, Ibnu Ayyuub berkata, telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ja’far, telah mengkhabarkan kepadaku Sa’d bin Sa’iid bin Qais, dari ‘Umar bin Tsaabit bin Al-Haarits Al-Khazrajiy, dari Abu Ayyuub Al-Anshariy radhiyallahu ‘anhu bahwa ia menceritakan haditsnya, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawwaal, maka ia bagaikan berpuasa sepanjang masa.”
[Shahiih Muslim no. 1165]
21) حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ صُهَيْبٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً
Telah menceritakan kepada kami Aadam bin Abu Iyaas, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, telah menceritakan kepada kami ‘Abdul ‘Aziiz bin Shuhaib, ia berkata, aku mendengar Anas bin Maalik radhiyallahu ‘anhu berkata, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Makan sahurlah kalian karena sesungguhnya didalam sahur terdapat keberkahan.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 1923; Shahiih Muslim no. 1098]
22) حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ عَنْ هِشَامٍ الدَّسْتُوَائِيِّ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ أَبِي رِفَاعَةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السَّحُورُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلَا تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ
Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil, dari Hisyaam Ad-Dastuwaa’iy, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Abu Katsiir, dari Abu Rifaa’ah, dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Makan sahur semua adalah berkah, maka janganlah kalian meninggalkannya walaupun salah seorang dari kalian hanya sahur dengan seteguk air, karena sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla dan para malaikatNya bershalawat kepada orang-orang yang sahur.”
[Musnad Ahmad no. 10702] – Sanadnya dha’if[6], namun menjadi hasan lighairihi dengan mutaba’atnya. Dihasankan Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahiih At-Targhiib no. 1070.
23) أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْفُضَيْلِ عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِي هِنْدٍ عَنْ الْوَلِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ
صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ مِنْ الشَّهْرِ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا فِي السَّادِسَةِ فَقَامَ بِنَا فِي الْخَامِسَةِ حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا بَقِيَّةَ لَيْلَتِنَا هَذِهِ قَالَ إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ قِيَامَ لَيْلَةٍ ثُمَّ لَمْ يُصَلِّ بِنَا وَلَمْ يَقُمْ حَتَّى بَقِيَ ثَلَاثٌ مِنْ الشَّهْرِ فَقَامَ بِنَا فِي الثَّالِثَةِ وَجَمَعَ أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ حَتَّى تَخَوَّفْنَا أَنْ يَفُوتَنَا الْفَلَاحُ
قُلْتُ وَمَا الْفَلَاحُ قَالَ السُّحُورُ
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Ubaidullaah bin Sa’iid, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Fudhail, dari Daawud bin Abi Hind, dari Al-Waliid bin ‘Abdirrahman, dari Jubair bin Nufair, dari Abu Dzar, ia berkata, kami berpuasa bersama Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam pada bulan Ramadhan dan beliau tidak bangun (shalat malam) bersama kami hingga tersisa tujuh hari dari bulan tersebut, kemudian beliau shalat bersama kami hingga berlalulah sepertiga malam, lalu beliau kembali tidak shalat bersama kami pada (sisa) hari keenam. Beliau shalat bersama kami pada hari kelima hingga berlalu setengah malam, aku berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika kau jadikan nafilah pada sisa malam ini bersama kami?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya barangsiapa yang shalat bersama imam hingga selesai maka akan dicatat oleh Allah pahala shalat semalam penuh.” Kemudian beliau tidak shalat bersama kami hingga tersisa tiga hari dari bulan tersebut, dan beliau shalat bersama kami pada malam ketiga, beliau mengumpulkan keluarganya dan istri-istrinya hingga kami takut kehilangan al-falaah. Perawi bertanya, “Apakah al-falaah?” Abu Dzar menjawab, “Yaitu waktu sahur.”
[Sunan An-Nasaa'iy no. 1605; Shahiih Ibnu Khuzaimah no. 2060] – Sanadnya shahih. Syaikh Muqbil Al-Waadi’iy dalam Shahiihul Musnad no. 280 berkata, “Shahih sesuai syarat Muslim.”
24) حَدَّثَنَا عَبْدَانُ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ الزُّهْرِيِّ ح و حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنَا يُونُسُ وَمَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ نَحْوَهُ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdaan, ia berkata, telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullaah, ia berkata, telah mengkhabarkan kepada kami Yuunus, dari Az-Zuhriy, -dalam jalur riwayat yang lain- telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Muhammad, ia berkata, telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullaah, ia berkata, telah mengkhabarkan kepada kami Yuunus dan Ma’mar, dari Az-Zuhriy yang semakna dengannya, ia berkata, telah mengkhabarkan kepadaku ‘Ubaidullaah bin ‘Abdullaah, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata, “Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling lembut dan beliau lebih lembut lagi pada bulan Ramadhan ketika Jibriil menemuinya pada setiap malam bulan Ramadhan untuk mengajarkan beliau Al-Qur’an, dan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam sungguh lebih lembut daripada angin yang berhembus.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 6; Shahiih Muslim no. 2309]
25) حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا أَبُو سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid, telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ja’far, telah menceritakan kepada kami Abu Suhail, dari Ayahnya, dari ‘Aaisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kalian carilah Lailatul Qadr pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 2017; Shahiih Muslim no. 1170]
26) حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ وَابْنُ أَبِي عُمَرَ كِلَاهُمَا عَنْ ابْنِ عُيَيْنَةَ قَالَ ابْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَبْدَةَ وَعَاصِمِ بْنِ أَبِي النَّجُودِ سَمِعَا زِرَّ بْنَ حُبَيْشٍ يَقُولُا
سَأَلْتُ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقُلْتُ إِنَّ أَخَاكَ ابْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ مَنْ يَقُمْ الْحَوْلَ يُصِبْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَقَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ أَرَادَ أَنْ لَا يَتَّكِلَ النَّاسُ أَمَا إِنَّهُ قَدْ عَلِمَ أَنَّهَا فِي رَمَضَانَ وَأَنَّهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ وَأَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ ثُمَّ حَلَفَ لَا يَسْتَثْنِي أَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ فَقُلْتُ بِأَيِّ شَيْءٍ تَقُولُ ذَلِكَ يَا أَبَا الْمُنْذِرِ قَالَ بِالْعَلَامَةِ أَوْ بِالْآيَةِ الَّتِي أَخْبَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا تَطْلُعُ يَوْمَئِذٍ لَا شُعَاعَ لَهَا
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Haatim dan Ibnu Abu ‘Umar, keduanya dari Ibnu ‘Uyainah, Ibnu Haatim berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyaan bin ‘Uyainah, dari ‘Abdah dan ‘Aashim bin Abu An-Nujuud, keduanya mendengar Zirr bin Hubaisy berkata, aku bertanya kepada Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya saudaramu, Ibnu Mas’uud mengatakan bahwa barangsiapa yang shalat malam selama setahun penuh maka ia akan memperoleh Lailatul Qadr.” ‘Ubay berkata, “Semoga Allah merahmatinya! Ia menginginkan agar manusia bertawakkal sedangkan ia benar-benar telah mengetahui bahwasanya Lailatul Qadr ada pada bulan Ramadhan, pada sepuluh hari terakhirnya di malam kedua puluh tujuh.” Kemudian ‘Ubay bersumpah bahwasanya ia (Lailatul Qadr) ada pada malam kedua puluh tujuh. Aku (Zirr) bertanya, “Dengan apakah kau mengatakan itu wahai Abul Mundzir?” ‘Ubay menjawab, “Dengan tanda-tanda yang telah dikhabarkan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada kami bahwa pada hari itu matahari terbit dengan sinarnya yang tidak menyengat.”
[Shahiih Muslim no. 1171]
27) حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ عَنْ حُمَيْدٍ قَالَ قَالَ أَنَسٌ حَدَّثَنِي عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ قَالَ
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُخْبِرَ النَّاسَ بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ فَتَلَاحَى رَجُلَانِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ فَتَلَاحَى فُلَانٌ وَفُلَانٌ وَإِنَّهَا رُفِعَتْ وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْرًا لَكُمْ فَالْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al-Mufadhdhal, dari Humaid, ia berkata, Anas berkata, telah menceritakan kepadaku ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam keluar untuk mengkhabarkan kepada manusia mengenai Lailatul Qadr, akan tetapi ada dua orang laki-laki dari kaum muslimin sedang berselisih. Maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada kalian akan tetapi fulaan dan fulaan saling berselisih sehingga diangkatlah kembali (Lailatul Qadr tersebut) dan aku berharap hal itu lebih baik bagi kalian, maka carilah ia pada malam kedua puluh sembilan, dua puluh tujuh atau dua puluh lima.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 6049; Musnad Ahmad no. 22256]
28) حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي يَعْفُورٍ عَنْ أَبِي الضُّحَى عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdillaah, telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Abu Ya’fuur, dari Abu Adh-Dhuhaa, dari Masruuq, dari ‘Aaisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Dahulu Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam jika telah memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan) maka beliau mengencangkan sarungnya, beliau menghidupkan malam-malamnya (dengan ibadah) dan beliau membangunkan keluarganya.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 2024]
29) حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْهَادِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْحَارِثِ التَّيْمِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوْسَطِ مِنْ رَمَضَانَ فَاعْتَكَفَ عَامًا حَتَّى إِذَا كَانَ لَيْلَةَ إِحْدَى وَعِشْرِينَ وَهِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي يَخْرُجُ مِنْ صَبِيحَتِهَا مِنْ اعْتِكَافِهِ قَالَ مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَعْتَكِفْ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ وَقَدْ أُرِيتُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ أُنْسِيتُهَا وَقَدْ رَأَيْتُنِي أَسْجُدُ فِي مَاءٍ وَطِينٍ مِنْ صَبِيحَتِهَا فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ وَالْتَمِسُوهَا فِي كُلِّ وِتْرٍ فَمَطَرَتْ السَّمَاءُ تِلْكَ اللَّيْلَةَ وَكَانَ الْمَسْجِدُ عَلَى عَرِيشٍ فَوَكَفَ الْمَسْجِدُ فَبَصُرَتْ عَيْنَايَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى جَبْهَتِهِ أَثَرُ الْمَاءِ وَالطِّينِ مِنْ صُبْحِ إِحْدَى وَعِشْرِينَ
Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil, ia berkata, telah menceritakan kepadaku Maalik, dari Yaziid bin ‘Abdillaah bin Al-Haad, dari Muhammad bin Ibraahiim bin Al-Haarits At-Taimiy, dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman, dari Abu Sa’iid Al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dahulu beri’tikaf pada sepuluh malam pertengahan Ramadhan dan orang-orang mengikutinya, hingga apabila sampai pada malam kedua puluh satu yaitu malam beliau kembali ke tempat i’tikafnya, beliau bersabda, “Barangsiapa yang telah beri’tikaf bersamaku maka hendaklah ia melanjutkan i’tikafnya hingga sepuluh hari terakhir, dan sungguh aku telah melihat malam (Lailatul Qadr) ini namun kemudian aku melihat diriku terlupa mengenainya, maka carilah ia pada sepuluh malam terakhir dan carilah pada malam-malam yang ganjil.” Pada malam itu langit menurunkan hujan, pada waktu itu bagian atap masjid masih terbuat dari dedaunan hingga airnya menetes. Kemudian mataku melihat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam pada dahinya ada bekas air dan lumpur di waktu subuh pada malam kedua puluh satu.
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 2027; Shahiih Muslim no. 1167]
30) حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلَاتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ يَتَحَدَّثُونَ بِذَلِكَ فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي اللَّيْلَةِ الثَّانِيَةِ فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ يَذْكُرُونَ ذَلِكَ فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ فَخَرَجَ فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ فَلَمَّا كَانَتْ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَطَفِقَ رِجَالٌ مِنْهُمْ يَقُولُونَ الصَّلَاةَ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى خَرَجَ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ ثُمَّ تَشَهَّدَ فَقَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ شَأْنُكُمْ اللَّيْلَةَ وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ صَلَاةُ اللَّيْلِ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا
Telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahyaa, telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullaah bin Wahb, telah mengkhabarkan kepadaku Yuunus bin Yaziid, dari Ibnu Syihaab, ia berkata, telah mengkhabarkan kepadaku ‘Urwah bin Az-Zubair bahwa ‘Aaisyah mengkhabarkan kepadanya, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah keluar di tengah malam (bulan Ramadhan) kemudian beliau shalat malam di masjid, lalu shalatlah beberapa orang laki-laki mengikuti beliau. Maka orang-orang saling menceritakan kepada yang lainnya mengenai hal tersebut sehingga banyak dari mereka yang berkumpul. Pada malam yang kedua, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam kembali keluar dan shalat bersama mereka dan orang-orang pun menyebutkan mengenai hal tersebut hingga pada malam yang ketiga jama’ah masjid semakin bertambah banyak dan Rasulullah keluar dan kembali shalat bersama mereka. Hingga pada malam keempat, masjid menjadi penuh oleh jama’ah namun Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak keluar kepada mereka, seorang lelaki dari jama’ah tersebut berseru, “Shalat!” Akan tetapi beliau tidak juga keluar hingga beliau keluar untuk shalat Fajr. Ketika beliau usai shalat Fajr, beliau menemui mereka, kemudian mengucapkan syahadat, beliau bersabda, “Amma ba’d, sesungguhnya tidak ada kekhawatiran dalam diriku mengenai kalian semalam, akan tetapi aku mengkhawatirkan hal itu (shalat malam) akan diwajibkan atas kalian, maka kalian tidak mampu melaksanakannya.”
[Shahiih Muslim no. 763; Shahiih Al-Bukhaariy no. 2012][7]
31) حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ عَنِ امْرَأَةٍ مِنْ بَنِي أَسَدِ بْنِ خُزَيْمَةَ يُقَالُ لَهَا أُمُّ مَعْقِلٍ قَالَتْ
أَرَدْتُ الْحَجَّ فَضَلَّ بَعِيرِي فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ اعْتَمِرِي فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فَإِنَّ عُمْرَةً فِي شَهْرِ رَمَضَانَ تَعْدِلُ حَجَّةً
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq, ia berkata, telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar, dari Az-Zuhriy, dari Abu Bakr bin ‘Abdurrahman bin Al-Haarits bin Hisyaam, dari seorang wanita yang berasal dari bani Asad bin Khuzaimah yang dipanggil Ummu Ma’qil, ia berkata, aku ingin pergi haji akan tetapi aku menginginkan menaiki onta maka aku bertanya kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Pergilah umrah pada bulan Ramadhan karena sesungguhnya umrah pada bulan Ramadhan pahalanya bagaikan pergi haji.”
[Musnad Ahmad no. 26742; Sunan An-Nasaa'iy Al-Kubraa no. 4213] – Sanadnya shahih. Syaikh Al-Albaaniy berkata dalam Al-Irwaa’ 3/374, “Sanadnya shahih sesuai syarat Asy-Syaikhain.”
32) حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullaah bin Yuusuf, telah mengkhabarkan kepada kami Maalik, dari Abu Haazim, dari Sahl bin Sa’d bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 1957; Shahiih Muslim no. 1100]
33) أَخْبَرَنَا ابْنُ خُزَيْمَةَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي صَفُوَانَ الثَّقَفِيُّ،
 حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنَا سُفِيَانُ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ” لا تَزَالُ أُمَّتِي عَلَى سُنَّتِي مَا لَمْ تَنْتَظِرْ بِفِطْرِهَا النُّجُومَ “، قَالَ: وَكَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ صَائِمًا أَمَرَ رَجُلا فَأَوْفِي عَلَى شَيْءٍ، فَإِذَا قَالَ: ” غَابَتِ الشَّمْسُ “، أَفْطَرَ
Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Khuzaimah, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abu Shafwaan Ats-Tsaqafiy, telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Mahdiy, telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Abu Haazim, dari Sahl bin Sa’d, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Umatku senantiasa berada di atas sunnahku selama mereka tidak menunggu munculnya bintang untuk berbuka puasa.” Sahl melanjutkan, “Dahulu, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam jika berpuasa maka beliau memerintahkan seorang laki-laki menyediakan sesuatu (sebagai hidangan untuk berbuka), dan jika diserukan, “Matahari telah tenggelam,” maka beliau berbuka.”
[Shahiih Ibnu Hibbaan no. 3510] – Sanadnya shahih. Syaikh Al-Albaaniy menshahihkan dalam Shahiih At-Targhiib no. 1074.
34) حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نُمَيْرٍ عَنْ سَعْدَانَ الْقُمِّيِّ عَنْ أَبِي مُجَاهِدٍ عَنْ أَبِي مُدِلَّةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ يَرْفَعُهَا اللَّهُ فَوْقَ الْغَمَامِ وَيَفْتَحُ لَهَا أَبْوَابَ السَّمَاءِ وَيَقُولُ الرَّبُّ وَعِزَّتِي لَأَنْصُرَنَّكِ وَلَوْ بَعْدَ حِينٍ
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami ‘Abdullaah bin Numair, dari Sa’daan Al-Qummiy, dari Abu Mujaahid, dari Abu Mudillah, dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tiga orang yang do’a mereka tidak akan ditolak yaitu do’a orang yang berpuasa hingga ia berbuka, do’a imam (pemimpin) yang ‘adil dan do’a orang yang dizhalimi. Do’a mereka akan dinaikkan Allah ke atas awan dan pintu-pintu langit akan dibukakan atasnya, Rabb berfirman, “Demi kemuliaanKu, Aku akan menolongmu walaupun beberapa saat kemudian.”
[Jaami' At-Tirmidziy no. 3598; Sunan Ibnu Maajah no. 1752; Shahiih Ibnu Khuzaimah no. 1793; Shahiih Ibnu Hibbaan no. 3428] – Sanadnya hasan[8]. Dishahihkan Al-Haafizh Siraajuddiin Ibnul Mulqin dalam Al-Badrul Muniir 5/152.
Selain hadits-hadits diatas, masih banyak lagi hadits-hadits shahih atau hasan lainnya yang karena keterbatasan tempat dan waktu, maka kami tidak bisa mengutipnya. Oleh karena itu kami mencukupkan diri dengan hadits-hadits diatas dan bahwasanya mereka adalah hadits-hadits yang umum dikutip oleh kaum muslimin dan dijadikan rujukan. Kami mengucap Alhamdulillah dan kami memohon ampun kepada Allah Ta’ala jika terdapat kekurangan dan kesalahan. Yang benar datangnya dari Allah, yang salah murni karena kedha’ifan kami.
Taqabballaahu minna wa minkum, shiyaamanaa wa shiyaamakum.
Allaahu a’lam.
Footnotes :
[1] Cacat pada hadits ini datang dari Abu Bakr bin ‘Ayyaasy, dalam Al-’Ilal Al-Kabiir disebutkan bahwa Imam At-Tirmidziy bertanya kepada Imam Al-Bukhaariy mengenai hadits ini. Maka Imam Al-Bukhaariy berkata :
غلط أبو بكر بن عياش في هذا الحديث
“Abu Bakr bin ‘Ayyaasy telah keliru dalam hadits ini.”
Kemudian Imam Al-Bukhaariy berkata :
حدثنا الحسن بن الربيع، حدثنا ابو الأحوص، عن الأعمش، عن مجاهد قال: إذا كان رمضان صفدت الشياطين
قال: وهذا أصح عندي من حديث أبي بكر
Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Ar-Rabii’, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwash, dari Al-A’masy, dari Mujaahid, ia berkata, “Jika telah datang bulan Ramadhan maka setan-setan akan diikat.”
(Al-Bukhaariy) berkata, “Dan inilah yang shahih menurutku dari hadits Abu Bakr.” [Al-'Ilal At-Tirmidziy hal. 111]
[2] Al-Haafizh Al-Mundziriy rahimahullah berkata :
فيه أبو قلابة عن أبي هريرة ولم يسمع منه
Didalamnya ada Abu Qilaabah dari Abu Hurairah, dan ia tidak mendengar darinya. [At-Targhiib wa At-Tarhiib 2/117]
[3] Dha’if karena sebab An-Nadhr bin Syaibaan. Dia adalah An-Nadhr bin Syaibaan Al-Huddaaniy Al-Bashriy. Ibnu Ma’iin berkata “haditsnya tidak ada apa-apanya”, Ibnu Khiraasy berkata “tidak dikenal kecuali dengan hadits Abu Salamah, yakni hadits pada bulan Ramadhan”, Ibnu Hajar berkata “layyinul hadiits”. [Al-Jarh wa At-Ta'diil 8/476, Al-Mughniy fiy Adh-Dhu'afaa' no. 6635; Miizaanul I'tidaal 7/29; Taqriibut Tahdziib no. 7186]
[4] Hadits ini lebih tepatnya adalah dha’if. Diriwayatkan pula oleh Ibnul Mubaarak (Musnad no. 96); Al-Haakim (Al-Mustadrak 1/554); Nu’aim bin Hammaad (Az-Zuhd no. 385); Al-Marwaziy (Mukhtashar Qiyaamul Lail 1/46); Al-Baghawiy (Ma’aalimut Tanziil no. 84); Al-Baihaqiy (Syu’abul Iimaan no. 1994); Abu Nu’aim Al-Ashbahaaniy (Hilyatul Auliyaa’ 8/161); Adz-Dzahabiy (Mu’jam Asy-Syuyuukh Al-Kabiir 1/47), semuanya dari jalan Huyay bin ‘Abdillaah, dari Abu ‘Abdurrahman Al-Hubuliy, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Aash, dengan kata lain tafarrudnya Huyay bin ‘Abdillaah dalam hadits ini.
Huyay bin ‘Abdillaah bin Syuraih Al-Ma’aafiriy Al-Hubuliy, Abu ‘Abdillaah Al-Mishriy. Ahmad berkata “hadits-haditsnya diingkari”, Ibnu Ma’iin berkata “tidak ada yang salah dengannya”, Al-Bukhaariy berkata “fiihi nazhar” (dan di sisi Al-Bukhaariy, perkataan ini menunjukkan kedha’ifan seorang perawi), dalam riwayat lain ia berkata “laisa bil qawiy”, demikian pula An-Nasaa’iy, Ibnu ‘Adiy berkata “aku berharap tidak mengapa dengannya, jika orang yang tsiqah meriwayatkan darinya”, Adz-Dzahabiy menyetujuinya dan dalam Ad-Diiwaan ia berkata “hasanul hadiits”, Ibnu Hajar berkata “shaduuq yahimu”, Syu’aib Al-Arna’uuth dan Basyaar ‘Awwaad berkata “dha’if, memerlukan penguat”, dan inilah pendapat yang rajih mengenai Huyay, insya Allah. [Tahdziibul Kamaal no. 1585; Miizaanul I'tidaal 2/401; Al-Jarh wa At-Ta'diil 3/271; Tahdziibut Tahdziib no. 2140; Taqriibut Tahdziib no. 1615; Adh-Dhu'afaa' Al-'Uqailiy 1/342; Adh-Dhu'afaa' Ash-Shaghiir hal. 171; Diiwaan Adh-Dhu'afaa' no. 1195; Tahriirut Taqriib 1/337]
[5] Paman Al-Haarits bin ‘Abdurrahman bernama Al-Haarits bin Sa’d bin Abu Dzubaab Ad-Dausiy Al-Hijaaziy, putra pamannya Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-. Biografinya ada pada Taariikhul Kabiir 2/269, Al-Jarh wa At-Ta’diil 3/75 dan Ats-Tsiqaat 4/129, dengan tanpa ta’dil maupun jarh dan disebutkan bahwa yang meriwayatkan darinya adalah Yaziid bin Hurmuz.
[6] Dha’if karena keterputusan antara Yahyaa bin Abi Katsiir dengan Abu Rifaa’ah. Yahyaa bin Abi Katsiir Ath-Thaa’iy, Abu Nashr Al-Yamaamiy. Seorang yang tsiqah tsabat namun melakukan tadliis dan irsaal, dan tidak diketahui ia mempunyai periwayatan dari Abu Rifaa’ah. Oleh Al-Haafizh Ibnu Hajar, ia dimasukkan dalam mudallis thabaqah kedua. [Taqriibut Tahdziib no. 7632; Thabaqaat Al-Mudallisiin no. 63]
Mengenai Abu Rifaa’ah sendiri, Al-Haafizh Al-Haitsamiy berkata :
فيه أبو رفاعة ولم أجد من وثقه ولا جرحه وبقية رجاله رجال الصحيح‏‏
Didalamnya ada Abu Rifaa’ah dan aku tidak menemukan mereka yang mentsiqahkan dan tidak juga yang menjarhnya, para perawi sisanya adalah para perawi Ash-Shahiih. [Majma' Az-Zawaa'id 3/153]
[7] Hadits ini menunjukkan dalil yang kuat dan tegas bahwasanya shalat tarawih berjama’ah di masjid adalah sesuatu yang masyru’ dalam sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan ia bukanlah bid’ah seperti yang kerapkali disangka sebagian orang bahwa shalat tarawih adalah bid’ah hasanah yang dibuat ‘Umar bin Al-Khaththaab -radhiyallahu ‘anhu-. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dahulu meninggalkannya karena beliau khawatir hal itu akan diwajibkan atas umatnya dan umatnya tidak mampu melaksanakannya, dan setelah beliau wafat, maka menjadi tsabit (tetap) akan kesunnahan shalat tarawih berjama’ah di masjid. Lalu pada zaman khalifah ‘Umar, ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu- melihat orang-orang melaksanakan shalat tarawih secara sendiri-sendiri dan berpencar-pencar, maka beliau berinisiatif mengumpulkan mereka di satu tempat yaitu di masjid lalu meminta ‘Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu mengimami mereka, ‘Umar berkata, “sebaik-baik bid’ah adalah ini,” yakni yang beliau maksud adalah shalat tarawih berjama’ah. Maka bid’ah yang beliau katakan disini bukanlah bid’ah secara syari’at melainkan hanya bid’ah secara konteks bahasa/penyebutan bahwa shalat tarawih berjama’ah di masjid tersebut adalah sesuatu yang baru pada zaman beliau karena pada zaman Abu Bakr Ash-Shiddiiq -radhiyallahu ‘anhu-, orang-orang melaksanakannya secara sendiri-sendiri, namun ‘Umar tahu bahwa shalat tarawih berjama’ah itu sendiri pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam kemudian beliau meninggalkannya.
Oleh karena itu sangat tidak tepat jika perkataan ‘Umar dijadikan dalil untuk membuat-buat bentuk-bentuk ibadah yang baru dalam agama ini yang sama sekali tidak ada dasarnya dari hukum-hukum syari’at dengan alasan yang penting ia (bid’ah tersebut) baik, lalu dilegalkanlah bid’ah hasanah dengan segala bentuk kreasi ibadah yang Allah dan RasulNya sama sekali tidak pernah mensyari’atkannya. Allaahul Musta’an.
[8] Didalam sanadnya ada Abu Mudillah. Al-Imam Ibnu Hibbaan berkata bahwa dia adalah maulaa Ummul Mu’minin ‘Aaisyah, namanya ‘Ubaidullaah bin ‘Abdullaah Al-Madaniy, sedangkan Al-Haafizh Ibnu Hajar berkata namanya adalah ‘Abdullaah, saudara Abul Hubaab Sa’iid bin Yasaar. ‘Aliy bin Al-Madiiniy berkata “tidak dikenal, namanya majhuul, tidak ada yang meriwayatkan darinya selain Abu Mujaahid”, dihasankan haditsnya oleh Imam At-Tirmidziy, tautsiq juga datang dari Imam Ibnu Maajah dan Imam Ibnu Hibbaan. Al-Haafizh Ibnu Hajar berkata “maqbuul”, Syaikh Syu’aib Al-Arna’uuth dan Dr. Basyaar ‘Awwaad berkata “shaduuq hasanul hadiits”, dan Syaikh Al-Albaaniy berkata “tabi’in majhuul”. [Tahdziibul Kamaal no. 7611; Tahdziibut Tahdziib no. 12033; Taqriibut Tahdziib no. 8349; Tahriirut Taqriib 4/268; Silsilatu Ash-Shahiihah no. 1797]
(http://muhandisun.wordpress.com/2013/07/04/hadits-hadits-shahih-seputar-bulan-dan-shaum-ramadhan/)